The Power of Habit

Semalam saya bersua dua orang mentee cerdas dan berani, membuka kembali pertanyaan mendasar: apa yang sebenarnya membuat sebuah bisnis bertahan? Di tengah semangat belajar dari mereka yang telah sukses, banyak orang terjebak pada meniru apa yang terlihat, produk yang dijual, strategi promosi atau bahkan menjiplak substansinya atau membajak jejaringnya. Padahal, seperti yang diungkapkan Jim Collins dalam bukunya Good to Great (2001), organisasi hebat tidak dibangun dari taktik jangka pendek, melainkan dari karakter kuat pemimpinnya.

Bisnis yang kokoh berdiri bukan hanya soal model bisnis yang cemerlang, tapi juga soal siapa yang menjalankannya. Pola pikir, kebiasaan harian, kemampuan menghadapi tekanan, cara menjaga integritas, semua itu tidak bisa disalin begitu saja dari luar. Angela Duckworth dalam Grit (2016) menyebut daya tahan mental sebagai kunci utama keberhasilan jangka panjang. Sayangnya, grit dan karakter tak tampak dari hasil akhir. Yang terlihat hanyalah pencapaian, bukan perjuangan diam-diam yang mendasarinya.

Dalam percakapan itu, saya bertanya padanya; “Kamu biasa bangun jam berapa?”, “Jam 7 pak! jawabnya.” Saya menimpali; “Coba cari pebisnis sukses yang rutin bangun siang.” Bukan berarti bangun pagi adalah formula mutlak, tapi karena konsistensi dalam kebiasaan kecil sering kali menentukan ketahanan dalam hal-hal besar.

Charles Duhigg dalam The Power of Habit (2012) menekankan bahwa perubahan besar seringkali berakar dari kebiasaan kecil yang diulang secara sadar.

Sebelum tergesa meniru bisnis orang lain, mungkin yang perlu dilakukan adalah melihat ke dalam. Sudahkah pola hidup dan cara berpikir mencerminkan pribadi yang siap menanggung beban dan tanggung jawab bisnis yang ingin dibangun? Seperti dikatakan Simon Sinek dalam Start with Why (2009), kekuatan sebuah organisasi terletak pada kejelasan nilai dan keteguhan individu di dalamnya. Sebab pada akhirnya, yang membuat bisnis bertahan bukan hanya produknya, tapi pribadi yang tumbuh dan menghidupinya✨

Indikator Hanyalah Penanda Bukan Tujuan

Pertemuan semalam dengan salah satu lulusan, Ia ungkapkan keinginannya untuk jadi konglomerat. Tapi ketika ditanya lebih dalam, ia bingung harus mulai dari mana. Ini sering terjadi: kita fokus pada akibat; hasil besar yang diinginkan, tapi lupa pada sebab yang harus dibangun sejak awal. Dalam merumuskan visi, baik sebagai individu maupun organisasi, penting untuk menyadari bahwa mimpi tanpa pemahaman sebab-akibat yang logis hanya akan jadi ilusi. Sebab adalah nilai, kebiasaan, dan keputusan kecil yang konsisten; akibat adalah hasil jangka panjang yang muncul darinya.

Obrolan lain muncul di rumah: mengapa jumlah Guru Besar di kampus meningkat, tapi beban biaya juga makin tinggi? Ini menyentuh beda antara output dan outcomes. Jumlah guru besar itu output; tampak, terukur. Tapi apakah kehadirannya memperkuat kontribusi kampus ke masyarakat? Itu outcomes. Tanpa orientasi pada dampak, output bisa jadi beban, bukan nilai. Sebaliknya, ada kampus yang menjadikannya sebagai penggerak kolaborasi dan inovasi. Maka, visi yang baik tak hanya soal hasil yang bisa dihitung, tapi perubahan yang bisa dirasakan.

Begitu juga dengan perbedaan antara tujuan dan indikator. Tujuan adalah arah besar yang dituju, sementara indikator memberi sinyal apakah kita sedang mendekatinya. Banyak visi terdengar indah, tapi tanpa indikator yang jelas, kita tak tahu apakah sudah maju atau justru jalan di tempat. Indikator memberi realitas pada ambisi, menjembatani mimpi dan tindakan nyata.

Visi yang kuat bukan sekadar kata-kata motivasional. Ia lahir dari pemahaman yang jernih: mana sebab, mana akibat; mana output, mana outcomes; mana tujuan, mana indikator. Di tengah derasnya narasi inspiratif, kemampuan membedakan dan merumuskan ini adalah fondasi utama agar kita tidak hanya sibuk, tapi benar-benar bergerak ke arah yang bermakna✨

Trainer Design Thinking

Hari ini menjadi kesempatan penting untuk menegaskan bahwa hakikat Design Thinking bukan sekadar menciptakan solusi kreatif, melainkan membangun kebermanfaatan yang nyata dan berdampak. Kepada para trainer @bpvp.bandungbarat , penting ditekankan bahwa inovasi sejati bukan hanya tentang apa yang baru, tapi tentang apa yang benar-benar dibutuhkan dan memberi nilai bagi kehidupan manusia. Filosofi dasar Design Thinking adalah berpihak pada manusia, membaca kebutuhan terdalam, menyentuh harapan mereka, dan menjadikannya pusat dari setiap proses penciptaan.

Sebagai trainer, peran utama bukan hanya mengajarkan metode, tetapi menanamkan keberanian untuk bertanya: Apakah solusi ini membawa manfaat jangka panjang? Apakah ini akan membuat hidup orang lebih baik secara berkelanjutan? Design Thinking tidak berhenti pada ide yang menarik, tapi menuntut tanggung jawab etis untuk menghasilkan dampak. Inilah sebabnya empati menjadi fondasi, bukan sekadar tahap awal, karena hanya dengan empati yang tulus, kita dapat merancang perubahan yang benar-benar relevan dan bermakna.

Perlu diingat juga untuk para trainer Design Thinking bahwa kita perlu membimbing peserta untuk berpikir melampaui proyek. Bukan hanya menyelesaikan tugas, tapi mengubah cara pandang terhadap problem sosial dan ekonomi secara lebih utuh. Pelatihan Design Thinking yang kuat akan menanamkan kesadaran bahwa setiap intervensi harus berkelanjutan, tidak sekadar menyelesaikan gejala, tapi merawat akar persoalan dan memberdayakan pihak-pihak terkait untuk terus berkembang bersama.

Dengan cara itu, trainer menjadi bagian dari ekosistem perubahan yang bukan hanya mendesain solusi, tapi juga menumbuhkan mindset transformatif. Design Thinking bukan alat teknis belaka, melainkan filosofi kerja yang menuntun kita untuk mencipta dengan hati, merancang dengan nurani, dan menumbuhkan dampak yang bertahan jauh melampaui ruang pelatihan.

@thelocalenablers@tle_agilyst

Menggambar Teknik

Di awal semester, banyak mahasiswa menganggap mata kuliah Menggambar Teknik ini sekadar soal garis lurus, skala, dan simetri. Tapi perlahan mereka menyadari, ini bukan soal siapa yang paling rapi menggambar, melainkan bagaimana mereka bisa saling belajar, saling mengisi. Maka kelas ini pun kami bentuk seperti ekosistem, bukan ruang ujian individu, tapi ruang tumbuh bersama. Mereka belajar dalam kelompok, dibimbing oleh mentor-mentor yang tak cuma ahli, tapi juga peduli.

Ujian akhirnya pun tak biasa. Setiap kelompok harus menyelesaikan satu gambar alat teknik yang cukup rumit. Tapi tiap orang hanya punya waktu 5 menit untuk menggambar bagiannya, lalu dilanjutkan oleh temannya. Bagi yang melihat dari luar, mungkin ini seperti permainan. Tapi di balik lima menit itu ada latihan berjam-jam. Mereka berlatih, gagal, tertawa, mengulang. Berkali-kali. Dan justru dari situlah muncul kebersamaan, koordinasi, dan rasa saling percaya.

Yang mereka bawa dari kelas ini bukan cuma kemampuan menggambar. Tapi pemahaman bahwa setiap orang punya peran. Kalau satu bagian salah, semua ikut terdampak. Mereka belajar mengenal ritme timnya, menahan ego, dan percaya bahwa proses itu lebih penting daripada hasil instan. Bahwa tumbuh itu tidak sendiri-sendiri, tapi bersama.

Kelas ini akhirnya jadi ruang belajar yang terasa lebih manusiawi. Ada kakak tingkat yang jadi mentor, ada tawa dan frustrasi yang dibagi bareng-bareng, ada perasaan bangga waktu satu gambar selesai dengan utuh. Mungkin beginilah seharusnya pembelajaran berjalan: bukan hanya menguji kemampuan, tapi juga menumbuhkan karakter, nilai, dan rasa saling memiliki. Karena di dunia nyata, tak ada yang bisa membangun sesuatu sendirian.

Terimakasih kawan-kawan mahasiswa!
Selamat berlibur🎉

Ilmu Bisa Di Copy Rezeki Ga Bisa Di Paste

Ada uang yang datang cepat, tapi membuat hati sesak. Ada proyek yang tampak rapi di laporan, tapi penuh potongan tak kasatmata. Ada orang yang menggunting kontribusi orang lain, lalu mengklaimnya seolah hasil sendiri.

Dunia hari ini memberi banyak ruang untuk akal-akalan, tapi tak ada ruang di hati yang bisa menampung damai jika rezeki datang dari jalan yang curang. Karena rezeki bukan hanya tentang masuk berapa, tapi berkahnya ke mana.

Tak sedikit yang meminjam dengan wajah meyakinkan, lalu menghilang saat dibutuhkan kembali. Ada yang titip kegiatan fiktif dalam program resmi, berharap mengalir ke tempat yang tak bisa diaudit. Ada juga yang menjanjikan dukungan hanya untuk menunggangi hasilnya nanti.

Mungkin semua terlihat normal di permukaan. Tapi keberkahan itu tidak lahir dari hasil, melainkan dari proses yang jujur, lurus, dan bersih dari manipulasi.

Di sisi lain, banyak yang digaji tapi tidak benar-benar bekerja. Hadir di rapat tapi tak hadir dalam niat. Ada yang hanya numpang nama di proyek, tanpa kontribusi nyata. Ada pula yang menulis laporan dampak dengan bahasa megah, padahal kegiatan lapangan mandek setengah jalan. Kalangan ini mungkin mendapat penghasilan, tapi kehilangan keberkahan, karena keberkahan tidak sekadar datang dari besarnya angka, tapi dari niat baik yang ditunaikan dengan tanggung jawab.

Keberkahan itu unik: ia tidak selalu terlihat, tapi sangat terasa. Ia membuat sedikit menjadi cukup, menjadikan kerja terasa ringan, dan membuat tidur lebih tenang. Ia hadir ketika rezeki dicari dengan cara yang halal, dikerjakan dengan sepenuh hati, dan dijaga dari merugikan orang lain. Maka dalam hidup ini, jangan hanya cari penghasilan, carilah juga keberkahan. Sebab yang halal menentramkan, yang berkah menyuburkan❤️

Lokapasar Festival

✨ Dikenal Sebagai Pendorong Inovasi Sosial di Indonesia✨️

Beliau akan berbagi wawasan transformatif dan siap menginspirasi Anda dengan ide-ide brilian.

Kenalin, beliau adalah Dr. Ir. Dwi Purnomo seorang Dosen, Founder The Local Enablers, Mentor Design Thinking, dan Penulis buku inspiratif 💡

Dalam Lokapasar Festival kali ini, siap-siap kamu akan diajak melihat tantangan dan peluang dari sudut pandang berbeda, dengan pendekatan kreatif dan berdampak.

Kalau kamu ingin jadi bagian dari perubahan positif lewat inovasi sosial, this session is totally for you!

📍Stay tuned, catat tanggalnya, dan jangan sampai kelewatan!

Inovasi Nggak Cuma Soal Hal Baru

Kita pikir inovasi itu soal fitur baru, ide disruptif, atau teknologi tercanggih. Tapi ternyata, banyak perubahan besar justru berakar dari hal kecil, cara kita bersikap, merespons rekan kerja, atau mengambil keputusan. Bukan soal seberapa canggih idenya, tapi apakah perilakunya berubah? Di sinilah kita keliru: kita ingin transformasi, tapi perilakunya masih stagnan.

BJ Fogg mengajarkan bahwa perubahan bisa dimulai dari lima hal: memulai hal baru (green behavior), menghidupkan ulang yang dulu sempat baik (blue), meningkatkan frekuensi aksi positif (purple), mengurangi hal yang tidak sehat (gray), atau bahkan menghentikan total kebiasaan merusak (black). Ini bukan teori abstrak, ini bisa berarti sesederhana: “Berhenti menyalahkan user kalau fitur gagal dipakai.”

Tapi mengapa sulit dilakukan? Karena kita terlalu sering mengandalkan sistem dan SOP, tapi lupa membiasakan percakapan sehari-hari yang membangun. Kita ingin tim kreatif, tapi tak berani membuka ruang untuk gagal. Kita ingin budaya kolaboratif, tapi meeting masih jadi ajang kompetisi ego. Perubahan budaya bukan proyek HR, tapi urusan setiap individu di dalamnya.

Cobalah satu perubahan saja minggu ini. Minta feedback secara terbuka. Ucapkan terima kasih sebelum mengkritik. Matikan notifikasi 30 menit sebelum brainstorming. Jangan tunggu manajemen. Karena seperti kata Peter Senge: “People don’t resist change. They resist being changed.” Tapi mereka akan berubah… kalau diajak memulai dari sesuatu yang bisa mereka rasakan dan percayai.

RE-INVENTING BMC

Kita ingin bisnis terus berkembang.

Tapi kadang, justru strategi yang dulu terasa solid mulai terasa kaku. Pelanggan berubah, pasar bergerak cepat, sementara model bisnis kita masih sama seperti dulu.

Masalahnya, kita seringkali hanya mengisi Business Model Canvas (BMC) sekali, lalu disimpan seperti pajangan. Padahal BMC itu bukan arsip, tapi kompas yang harus terus disesuaikan.

Lewat eBook RE-INVENTING BMC,
@dwiindrapurnomo mengajak kita meninjau ulang model bisnis dari tiga sisi penting:

🎯 Frontstage
bagaimana pelanggan merasakan bisnis kita

🔧 Backstage
bagaimana tim kita bekerja dan menciptakan Value

📈 Profit Formula
bagaimana kita bisa tetap untung tanpa membebani operasional

Bukan berarti harus mulai dari nol, tapi kita perlu tahu bagian mana yang harus diubah, disesuaikan, atau ditinggalkan. Kalau kita merasa bisnis mulai melambat, mungkin ini waktunya reinvent.

📥 Unduh eBook-nya sekarang melalui tautan di bio.

Siapa tahu, perubahan kecil di strate

Mencetak Enablers Butuh Proses, Bukan Hanya Pelatihan

Perubahan jarang datang dari atas. Ia lahir dari orang-orang yang memilih bergerak di level paling dekat dengan realita, anak-anak muda yang sadar bahwa kontribusi tidak harus menunggu jabatan. Mereka belajar memahami konteks, membangun kepercayaan, dan menjadi jembatan antara harapan dan aksi nyata. Di The Local Enablers, mereka disebut enablers: bukan tokoh utama, tapi kunci yang menyambungkan sistem dengan masyarakat (Leadbeater, 2008; Westley et al., 2013).

Mencetak enablers butuh proses, bukan hanya pelatihan. Dibutuhkan ruang aman untuk salah, komunitas yang saling dorong, dan sistem pendampingan yang membumi. Wenger (1998) menyebutnya sebagai communities of practice—tempat di mana orang belajar bukan hanya dari materi, tapi dari perjumpaan dan kolaborasi. Ini sejalan dengan prinsip experiential learning (Kolb, 1984), di mana kapasitas dibentuk lewat siklus mencoba, merefleksi, dan memperbaiki secara terus-menerus.

Tantangannya bukan sekadar membuat mereka aktif, tapi memastikan mereka punya kapasitas untuk berdampak. Enablers masa kini harus bisa memetakan masalah, merancang solusi yang relevan, dan mengelola perubahan dengan cara yang inklusif. Heifetz dan Linsky (2002) menyebut ini sebagai bentuk adaptive leadership; memimpin tanpa otoritas formal, tapi punya pengaruh karena kredibilitas, empati, dan konsistensi.

Proses ini tidak sedang membentuk bintang, tapi ekosistem. Karena perubahan besar sering kali dimulai dari sekelompok kecil yang bekerja dengan hati, bukan sorotan. Dan kalau hari ini kita terus mencetak enablers, maka esok kita tak hanya punya program yang berjalan, kita punya generasi yang terus menyalakan dampak.

Jangan Lelah Berproses @thelocalenablers

Apreciate to the all co-supervisors

@nizzahnaf co supervised by @gitanoor
@alyahst co supervised by @mangroisz
@anggitameliaaa co supervised by @yulistyne

Buku Manusia Kreatif

Edisi Terbaru Seri Buku Manusia Kreatif telah hadir!

📚 4 Buku | 2 Versi | Banyak Inspirasi 🔥

Kini, seri buku Manusia Kreatif hadir dalam 2 versi:
📘 Versi Berwarna – dengan ilustrasi dan elemen visual penuh warna yang memperkaya pengalaman membaca.
⚫ Versi Hitam Putih – lebih ekonomis, tetap dengan konten dan kualitas cetak yang sama, hanya berbeda di pewarnaan isi halaman

✨ 4 Judul Buku Seri MANUSIA KREATIF:
1. Activation! – Strategi Mengenal Tujuan
2. Let’s Agile! – Kiat Mempertajam Mindset
3. Re-Design Your Thinking! – Cara Mendesain Sistem Berpikir Kita
4. Transformative Education – Mempersiapkan Pemimpin Masa Depan

🎁 HARGA SPESIAL PRE-ORDER (24 Juni – 31 Juli 2025)
🔸 Warna: Rp125.000/buku
🔸 Hitam Putih: Rp90.000/buku
💥 Beli 2 buku → Diskon 10%
💥 Beli 4 buku → HANYA Rp400.000 (warna) / Rp300.000 (hitam putih)

* BONUS:
Kelas GRATIS di Lokapasar Festival! (Untuk pemesanan 24 Juni – 2 Juli 2025).

Buku dapat langsung diambil di Lokapasar Festival yang akan diselenggarakan pada 7 Juli 2025, di Pasar Kreatif Jawa Barat

Gratis book signing dan konsultasi dengan mentor ahli

Info lebih lanjut mengenai Lokapasar Festival dapat diakses melalui instragram @lokapasar.festival

📲 Order sekarang via:
🔗 https://bit.ly/POManusiaKreatif
📞 WA: Putri 0816-777-379

📍 Follow: @thelocalenablers
📌 Jangan lewatkan juga keseruan kelas & aktivitas di Lokapasar Festival!